-->

Popular Posts

2leep.com!

Tuesday, March 1, 2011

Malam Terakhir

"Melihat TUHAN!" kata Dimas dengan tampang yang bangga. Aneh pikirku, anak berumur 3 tahun dengan tinggi kira-kira 120 cm sudah punya cita-cita seperti itu? Cita-cita itu lebih aneh daripada cita-citanya Bayu, yaitu menjadi tukang ikan. Maklum, Bayu waktu itu masih berumur 4 tahun, makanya ia jawab seperti itu.

Keesokan harinya, ibuku menyuruhku untuk mengajak Dimas jalan-jalan.

"Yah, ma! Masa iya, aku yang disuruh."

"Habisnya. Mau siapa lagi? Lagipula dia kan sepupumu, tak apalah temani jalan-jalan."

"Tapi boleh ajak Bayu ya?"

"Yasudah, ajak saja. Ini uangnya, mama kasih seratus ribu untuk kamu, Bayu, dan Dimas muter-muter Jakarta naik Taksi."

"Oke ma!"

Dan..., pergilah aku ke rumah Dimas, lalu ke rumah Bayu, sahabat karibku yang dulu mau jadi tukang ikan. Entah sekarang mau jadi apa, jadi ikannya mungkin?

"Sul! Kenapa mesti gw yang diajak?"

"Bosen gw kalo sendirian, Yu!"

"Terus, itu sepupu lu?"

Aku hanya mengangguk.

Dan mulailah perjalanan 3 bocah ini dengan tampang semeraut. "Dimas mau naik apa?" tanyaku. "Mau naik itu tuh!!" katanya sambil menunjuk kendaraan beroda tiga berwarna oranye dengan suara merdu semerbak... alias bajaj. "Dimas, naik taksi aja ya?", Dimas menggelengkan kepalanya. "Ayo dong, taksi aja ya?", Dimas menggelengkannya lebih keras lagi. Daripada copot tuh kepala, mending turutin aja.

"Jah!! Oi, Samsul, nyokap lu ngasih uang seratus ribu buat keliling Jakarta naik bajaj?"

"Yu, tujuannya sih naik taksi. Gw mah nurutin kata nih anak aja."

Ribet juga ternyata, tapi apa boleh buat lah, bikin anak kecil seneng pahala besar di Surga. Lagipula Dimas belum tau sebenernya ada penyakit ganas yang dideritanya saat ia lahir. Kanker paru-paru. Inilah kesempatan aku untuk membuatnya senang.

"Trotok trotok trotok, brrmmmhhh..." nyaring amat bunyi bajajnya.

Dimas mengeluarkan kepalanya jari jendela dengan hati riang gembira bagaikan seekor kucing punya nyawa 10. (TUHAN ngasih bonus 1 buat tuh kucing)

"Kak, kak! Itu Monas ya?", kata Dimas

"Bukan Dimas, itu mah rumah biasa," jawabku.

"Kalo itu, Monas bukan?"

"Itu juga rumah biasa"

"Ooooh. Eh kak, rumah itu gede banget ya?"

"Dimas, itu baru namanya Monas!"

Bayu tertawa terbahak-bahak. Karena aku juga gak mau malu, yaudah, kita flashback saja.

"Yu, masih mau jadi tukang ikan?"

"Kagak lah! Itu mah jawaban gw pas tinggi 130-an."

"Sekarang mau jadi apa? Ikan?"

"Sul, gw udah umur 17 tahun."

"Sama! Gw juga 17 tahun!"

"Ah, terserah lah!"

Yaaa, keliling Jakarta memakan waktu kira-kira 4 jam dengan kendaraan yang hebat bunyinya. Untung aja gw gak budeg, Bayu aja udah ngorek-ngorek kuping.

"Nah, Dimas, sekarang kita pulang."

Dimas mengangguk dan kita dada-dadaan sama Bayu. Dada-dadaan berlangsung kira-kira 3 menit.

2 hari kemudian, Ibu Dimas menemuiku dengan muka yang ceberut, mirip Duren. Ia menceritakan dan berterima kasih kepadaku sebab sudah bikin Dimas bahagia. Sekarang, tinggal menunggu TUHAN memanggil Dimas.

Semua orang disekitar tempat tidur Dimas menangis tersedu-sedu. Benar-benar sedih dan pahit suasananya. Akupun ikutan nangis, membayangkan betapa beruntungnya diriku bisa hidup sampai 17 tahun ini.

Alat detak jantung berjalan dengan cepat, akhirnya "nuuuuuuutt....". Selamat tinggal sepupuku yang manis. Setidaknya aku berhasil membuatnya bahagia sebelum ia pergi. Dimas anaknya baik, baik sekali. Akhirnya, cita-cita Dimas berhasil ia raih. Aku yakin, TUHAN pasti menggendongnya menuju Surga.

Cita-citamu besar Dimas. Kamu anak yang hebat.

No comments:

Post a Comment